Citizen Report oleh Anan Akhyar Razizy – Mahasiswa Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin
Saat pertama kali menjejakkan kaki di Desa Leppangang, Kecamatan Patampanua, Kabupaten Pinrang, saya tahu bahwa perjalanan ini tak sekadar menjalankan program KKN Tematik Gelombang 114. Ini soal panggilan hati—soal bagaimana ilmu bisa menjawab tantangan nyata di lapangan, terutama dalam hal lingkungan dan kehidupan petani.
Di desa yang sebagian besar warganya menggantungkan hidup dari pertanian, saya melihat potensi besar sekaligus masalah yang nyata: sampah dibuang sembarangan, ketergantungan pada pupuk dan pestisida kimia, hingga kebutuhan energi rumah tangga yang belum efisien.
Karena itu, saya merancang empat program sederhana tapi punya harapan besar:
1. Edukasi dampak limbah sampah terhadap tanah.
2. Pembuatan pestisida organik dari puntung rokok.
3. Produksi pupuk organik cair dari feses ayam.
4. Pembuatan briket dari tempurung kelapa sebagai energi alternatif.
Dari Ragu Menjadi Dukungan
Tak mudah meyakinkan warga. Beberapa bahkan terang-terangan meragukan program ini. “Awalnya saya pikir, ini cuma teori mahasiswa,” kata salah satu warga. Tapi semua berubah ketika program mulai dijalankan.
Malam 28 Juli 2025 jadi titik balik. Aula desa dipenuhi 35 hingga 40 warga, termasuk Kepala Dusun dan Kepala Desa. Dukungan pun mulai mengalir. Warga melihat langsung manfaatnya—dan perlahan, skeptisisme berubah jadi antusiasme.
Ketika Bahasa Bukan Penghalang
Tantangan lain datang dari bahasa. Logat Bugis yang cukup kental membuat saya harus lebih banyak belajar mendengar sebelum berbicara. Lucunya, saat saya menyebut “feses ayam” dengan bahasa formal, warga malah tertawa. “Bilang saja tai ayam,” celetuk seorang ibu.
Tawa itu jadi jembatan. Sejak saat itu, kami berkomunikasi lebih cair, lebih terbuka, dan lebih akrab.
Saat Keluhan Menjadi Titik Cerah
“Saya beli pupuk mahal, tapi tanah makin keras,” keluh seorang petani. Keluhan itu menyadarkan saya: mereka butuh solusi yang bisa mereka buat sendiri. Dan itulah yang kami coba tawarkan—pupuk dari bahan yang mereka miliki.
Pestisisda dari puntung rokok pun membuat warga penasaran. Selain ramah lingkungan, limbah yang biasanya dibuang bisa jadi penyelamat tanaman.
Sementara itu, briket tempurung kelapa langsung menarik minat para ibu rumah tangga. Api yang tahan lama membuat mereka semangat mencoba. “Hemat, bisa masak lebih lama,” ujar salah satu ibu dengan senyum puas.
Limbah Bukan Musibah
Setiap pagi saya melihat sampah berserakan di kebun dan sungai. Melalui program ini, saya ingin menunjukkan bahwa limbah bisa dikelola, dimanfaatkan, bahkan dijadikan sumber daya baru.
Saya percaya, perubahan besar bisa dimulai dari kesadaran kecil. Dan jika masyarakat bisa melihat limbah sebagai peluang, maka masa depan lingkungan mereka bisa lebih cerah.
Dari Teori ke Aksi, dari Diri Sendiri
Saya belajar banyak dari sini. Bukan hanya tentang pupuk dan pestisida, tapi tentang keberanian mendengar dan mencoba. Ternyata, solusi tidak selalu harus datang dari luar. Ia bisa lahir dari observasi, interaksi, dan empati.
“Kalau cuma teori tanpa praktik, tidak akan ada perubahan,” ujar Kepala Desa saat penutupan kegiatan.
Pulang dengan Harapan
Saya meninggalkan Desa Leppangang dengan harapan yang tumbuh di dada. Bukan karena program ini selesai, tapi karena saya yakin, benih yang kami tanam bersama akan terus tumbuh—menjadi pohon harapan hijau yang memberi manfaat bagi desa tercinta ini.
“Awalnya skeptis, kini berubah menjadi antusias.” Mahasiswa KKN Unhas menghadirkan empat solusi ramah lingkungan yang menyentuh langsung kebutuhan petani Desa Leppangang. Dari pupuk organik hingga briket tempurung kelapa—semua berawal dari keluhan warga.
The post Merajut Harapan Hijau dari Desa Leppangang Refleksi Mahasiswa KKN Unhas dalam Menjawab Tantangan Lingkungan first appeared on Online24jam.